Duo Raden Geblek di “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi” karya Yusi Avianto Pareanom

Tike Yung
6 min readOct 17, 2018

--

JUDUL: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
PENULIS: Yusi Avianto Pareanom
PENERBIT: Banana
ISBN: 987-979-1079-52
CETAKAN: Pertama, Maret 2016
TEBAL BUKU: 450 halaman

☁ "Paman, buku apa yang kaubaca sampai pemikiranmu aneh-aneh macam begini?"
"Sama saja dengan yang kaubaca. Persoalannya aku benar-benar membacanya. Kau membalik-balik halamannya saja. Tapi, aku percaya bahwa suatu saat anak petani atau tukang kayu bisa menjadi pemimpin negeri ini kalau ia memang cakap. Mungkin untuk awalnya akan lebih mudah jika pemimpin yang muncul masih punya keturunan raja. Nanti pasti akan muncul kerabat istana yang berhaluan seperti kita. Siapa tahu kau nanti yang jadi pemimpin kami, Sungu Lembu."
[Halaman 95]

☁ "Aku tak paham pikirannya. Aku tak akan pernah paham pemikiran perempuan. Kalau aku bisa membaca hati perempuan, barangkali aku sudah bisa jadi penguasa dunia."
[Halaman 120]

☁ "Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari. Sebuah perahu yang sempurna tak akan butuh lagi mencari ikan, muatan, teman, pelanggan, bahkan tanah baru."
[Halaman 208]

☁ "Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih."
[Halaman 306]

☁ "Banyak orang paham memulai perang, tapi tak pernah benar-benar paham mengakhirinya."
[Halaman 406]

Waktu pertama kali novel ini terbit, umur saya beberapa minggu telah menginjak di angka satu dan sembilan (seumuran Sungu Lembu kayaknya pas dia mulai berpetualang dengan Raden Mandasia 😂 😂). Di tahun itu juga setelah novel ini terbit dan mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, semakin ramai pula kisah "Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi" diperbincangkan (khususnya pembaca sastra atau pembaca jenis Omnivoread di negeri ini 😂 *saya pengen bisa jadi Omnivoread tapi sampai sekarang belum mampu dengan genre horor) dan di Frankfurt Book Fair, novel ini ada di sana (menurut saya buku Indonesia yang dibawa ke Jerman sana emang wajib kita baca).

Saat itu saya terserang kegalauan (mau dibaca sekarang apa ndak ya?). Duhhh pokoknya kegalauan saya ini alasannya entah menurut orang-orang aneh atau nggak, tapi memang alasan utamanya yaitu, saya akan membaca novel ini ketika usia saya sudah seperti abad sekarang 😂 😂 (hati saya berucap waktu itu wkwkwk).

Dan satu alasannya lagi, pas novel ini lagi hangat-hangatnya (kalau nggak Salah waktu itu saya lihat reviewer di goodreads masih dibawah 30-50 orang yang mereview novel ini) dan review pertama yang saya baca adalah dari bang Bara (si Abang penulis yang puitis itu), behhh kata bang Bar di halaman awal aja udah bikin memaki 😂. Juga, kebanyakan reviewer memberikan 4-5 bintang.

Seperti beberapa novel sastra lainnya, novel ini juga dilabeli 'Dewasa' (jadi, adek-adek yang suka baca sastra, saya sarankan nanti saja baca novel ini 😂). Sebenarnya, mengenai novel dengan label 'Dewasa' di kover belakangnya, itu tergantung pembacanya juga bagaimana mereka menyikapi dan bijak mengenai bacaan mereka. Lagi pula label 'Dewasa' bukan berarti ada 'sarangheyhonya'😂 (elahhhTikkanca-kancamuningdesa97%wisndakberKTPbelumkawinkokyah). Bisa aja isi buku tersebut memang jalinan kata-katanya hanya diperuntukkan bagi pembaca dewasa (yo contohe novel iki). Novel ini pun juga begitu, tapi tentu saja ditulis dengan--yang meskipun--kasar dan bebas, namun halus dan rapi (ya saran saya sih bacanya jangan pakai lidah cukup pakai hati saja *eaaa). Apa lagi novel ini diceritakan dari POV seorang pria, yang memang ditakdirkan sebagai makhluk visual (beda sama saya yang ditakdirkan sebagai makhluk berperasaan, makanya saya lebih suka baca tulisannya sastrawangi. Terkecuali puisi, saya lebih suka penulis pria).

Selain review di Goodreads, dan melimpahnya 'makian' *eh bintang untuk novel ini. Lalu kenapa saya terserang galau? karena di awal tahun itu ada dua novel sastra yang sampai sekarang belum juga bisa saya selesaikan (aduhhhmbahcucumuikiderengsampunmacaAMBAlanCIL)

Btw, ada yang seperti saya kah? Membeli novel tapi dibacanya nanti kalau merasa udah tepat. Jadi bukunya ditimbun dulu 😂 😂 😂 😂 😂

Elahhh tambah ngglambyar reviewne kowe, Tik! Lanjutna iku si duo Raden 😂

Oh oke 👌

Pertama, saya cuma mau bilang kalau novel ini adalah novel kolosal (yang tentunya pertama kali saya baca, *semoga nanti bisa baca novel jenis beginian lagi). Jadi, lumayan bikin saya mau tertawa dan menyerngitkan dahi karena nama-nama tokohnya yang lebih dan sangat old dari nama orang tua atau kakek nenek buyut kita. Salah satu contohnya adalah Sungu Lembu, yang tak lain si tokoh utama dan si pencerita (karena novel ini ditulis menggunakan POVnya Sungu). Yang saya kira, pas awalnya gitu kirain bukan manusia 😂. Ya karena dari kata 'lembu' itu kan sapi, mana judulnya ada nama hewan itu pula, lalu kata 'sungu' itu artinya tanduk. Nah kan saya berprasangkanya kirain novel ini macam "Animal Farm" nya George Orwell (emang wis maca novel iki, Tik? Hehe dereng sih, soale masih ana ning timbunan 😂). Eh tapi begitu membaca bab pertamanya, saya langsung tepuk jidad 😂

Kedua, karena ini novel kolosal, jadi saya mengira-ngira, di manakah sekiranya setting yang mirip untuk Gilingwesi dan Banjaran Waru ini? Tentu saja saya menebaknya, mungkin antara Majapahit atau Mataram. Yang jelas bukan kerajaan Demak, Ternate, Tidore, Sriwijaya, atau yang ada Ratu Elizabethnya yang sebentar lagi mau hajatan (wihhh makan dodol, wajik, dan jajanan tradisional lainnya yang ada di hajatan *khususnya pengantenan😂 😂), apalagi zaman kerajaan yang ada Oppa atau Ahjussi itu.

Btw, tadinya saya itu hampir lupa sama keinginan untuk membaca novel ini loh. Tapi pas akhir tahun kemarin di TL IG, saya lihat postingannya mbak Sulis (blogger favorit saya sejak pertama kali saya mulai terjun ke romance) mengenai buku favoritnya gitu, dan novel ini masuk daftarnya. Jadilah saya teringat lagi dengan 2 tahun lalu 😂. Namun sayangnya, waktu itu kayaknya saya sedang di Cikarang atau Bekasi, sedangkan novel ini ada di Brebes. Entah kebetulan atau memang terpanggil karena 2 tahun lalunya hati saya berucap seperti itu, karena memang di akhir tahun usia saya sudah di abad sekarang hehe.

Bab awal novel ini dimulai dari sebuah malam yang mengakibatkan tertangkapnya duo Raden, siapa lagi kalau bukan nama yang ada di judul novel, juga si penceritanya. Kenapa mereka ditangkap? Yah tentunya sesuai dengan judul novelnya 😂(yang tertulis dengan panjangnya dan memiliki tanda tanya tak kasat mata, namun juga membuat yang membacanya ingin tertawa, mungkin menyerngitkan dahi. Lah Iya masa Pangeran nyuri sapi?). Mereka mencuri sapi, lebih tepatnya sih ini hobinya Raden Mandasia, kalau Sungu sih ikut-ikutan aja awalnya, karena mereka memang teman seperjalanan. Seperjalanan apa? Yah, perjalanan seperti yang ada di blurb novel ini. Sungu Lembu yang menjalani hidupnya dengan dendam. Raden Mandasia yang berkeinginan menyelamatkan Kerajaan Gilingwesi.

Nah, inilah yang kemudian membawa pembaca seakan ikut lari bersama mereka, dari perjalanan antara dendam dan upaya penyelamatan. Yang tentunya aksi tersebut membuat saya sedikit menyesal kenapa saya menyalip buku lainnya ketika sedang membaca novel ini. Apalagi waktu itu saya baru membacanya satu bab, dan bab duanya baru di awalnya gitu.

Tokoh-tokoh dalam novel ini pun mulai bermunculan, dan juga sejarah singkat kehidupan masing-masing sebelum mereka bertemu Sungu Lembu. Yang tentu saja karena perjalanan itu mereka saling bertemu, yang kemudian diceritakan secara flashback oleh Sungu Lembu setelah kejadian naas di bab pertama.

Dari perjalanan itu juga ada yang membuat meringis, tertawa, dan sedih, sampai membuat Sungu yang seorang pria bisa menangis (tapi saya bacanya nggak sampai kayak si Sungu ini, mungkin emang dasar si Sungu aja yang cowok tapi berhati lembut ya, soalnya saya baca novel ini sepertinya lebih banyak tertawa sih hehehe).

Salah satu bagian perjalanan Sungu Lembu dan Raden Mandasia yang membuat saya tertawa, selain mereka yang terombang-ambing di lautan, adalah ketika mereka di negeri yang menghasilkan kain celup. Di mana setiap warna pada kainnya tidak boleh disebutkan 😂. Contohnya ketika seorang pembeli akan membeli kain berwarna biru kehijauan, maka harus diucapkannya begini, "yang mata anak haram janda ujung desa setelah kedatangan perampok dari utara." 😂 😂 😂 Kalau mau warna biru pucat, yah bilangnya, "yang langit awal musim dingin."

Saya memberikan contohnya warna biru, karena saya suka biru. Kalau kalian mau tau apa sebutan warna favorit kalian versi novel "Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi" silakan baca novelnya, Insya Allah kalian tidak akan menyesal begitu membacanya 😍.

Dari panjangnya perjalanan duo Raden gemblung ini, akhirnya ditutup dengan aksi yang membuat saya bersyukur. Dan kalau dalam novel romance mungkin saya bisa mengatakan, "inilah couple yang saya tentukan sejak awal." 😍 😍 😍

Wahai duo Raden gemblung dari Banjaran Waru dan Gilingwesi, kuberikan 4,7 bintang untuk kisah kalian yang kovernya membuat saya tercetus "duhhh ini novel kovernya simple tapi pas(ten)", meskipun sebelum membacanya saya bertanya-tanya, "ini maksudnya apa yah?" Tentunya jawaban dari pertanyaan saya tersebut ada dalam perjalanan duo Raden gemblung, yang satunya suka baca buku juga cerewet dan satunya lagi suka mencuri sapi.

Kenapa bukan 5? Karena saya seakan ikutan mual seperti Raden Sungu Lembu begitu tahu fakta mengenai ibunya Raden Mandasia 😂

--

--

Tike Yung

Manusia yang menyukai buku, sejarah, seni, dongeng, biru, omelet wortel dan orek tempe.