Mencari sebuah Kebahagiaan dalam Pernikahan dari Kisah Madame Bovary karya Gustave Flaubert

Tike Yung
6 min readNov 29, 2020

--

JUDUL : Madame Bovary

PENULIS : Gustave Flaubert

PENYUNTING : Nien

PEMERIKSA AKSARA : Tika Yuitaningrum

PENERBIT : Narasi

ISBN : 978–168–394–8

CETAKAN : Pertama, 2014

TEBAL BUKU : 154 halaman

BLURB

Charles Bovary adalah lelaki biasa yang tak menarik, pemalu, namun baik hati. Karena kegigihannya belajar, akhirnya ia berhasil meraih gelar dokter, meskipun hanya sebagai dokter desa. Ia tak memiliki ambisi maupun kelebihan dalam hal apa pun, hanya berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik.

Sementara Emma adalah putri pemilik perkebunan yang cantik, penuh pesona, imajinatif dan haus akan kehidupan gemerlap kota besar. Ia memimpikan hidup penuh dengan romantisme dan kemewahan. Ia ingin mengenakan gaun-gaun indah dan menghabiskan waktunya dengan pergi ke pesta-pesta dansa serta menonton opera.

Emma mendambakan pria tampan yang memujanya dengan penuh hasrat, memberikan cinta penuh romantisme, dan memberikan kemewahan padanya. Dan itu tak ia dapatkan dari Charles Bovary, suaminya. Demi meraih kebahagiaan yang didambanya, ia melupakan suaminya serta putrinya, dan dimulailah petualangan cintanya….

Apakah petualangan cintanya mampu memberikan kebahagiaan yang selama ini didambakannya?

Ada quote yang sampai sekarang masih saya ingat (kadang kalau lupa ya buka bukunya atau buka akun goodreads) dari cerpen karya penulis Indonesia favorit saya yaitu Leila S. Chudori, cerpen itu berjudul “Ilona”. Dalam cerpen yang ada di buku kumpulan cerpen “Malam Terakhir” tersebut, ada dua quote tentang pernikahan, yaitu :

“Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, pada saat itulah ia memulai suatu perjalanan yang panjang, asing, dan penuh tantangan. Dan kita harus sangat yakin bahwa kawan perjalanan kita itu adalah orang yang tepat dan bisa bekerja sama ketika meniti…”

“Rasa sepi itu selalu menyerang setiap orang yang menikah maupun yang tidak menikah. Barangkali rasa sepi akan terasa lebih perih bagi mereka yang mengalami kegagalan dalam perkawinan. Mereka terbiasa berbagi, lalu mereka terpaksa menjadi sendiri.”

Membaca novel “Madame Bovary” ini membuat saya teringat beberapa kisah perjalanan pernikahan dari orang-orang di sekitar saya — entah itu keluarga maupun teman-teman seusia saya yang dulu memilih/memutuskan untuk menikah muda (bagi saya, sebelum usia 25 tahun itu disebut menikah muda). Meskipun novel ini berakhir tragis, tapi tidak semua perjalanan pernikahan yang ada di sekitar saya itu tragis juga, malah kebanyakan bisa disebut bahagia — setidaknya versi dari mereka yang menjalani pernikahan tersebut, karena yang namanya kebahagiaan bagi setiap manusia itu berbeda-beda.

Kisah Madame Bovary muda — yang sebelum menikah bernama Emma Rouault — dan Monsieur Bovary muda ini diawali dengan bab 1 yang judulnya “Kegagalan dan Keberhasilan”. Di mana di paragraf awal, mulai menceritakan sosok Monsieur Bovary tua dan Madame Bovary tua yang memiliki seorang putra yang diberi nama sama seperti ayahnya. Bab 1 dan bab 2 adalah perjalanan bagaimana Bovary muda sebelum bertemu Emma, yang selama masa mudanya itu dihabiskan dengan belajar, dari mulai meninggalkan rumahnya yang kelam karena kebangkrutan orang tuanya dan ayahnya yang selalu mabuk. Ia menghabiskan tiga tahun di akademi yang ada di Rouen lalu setelah tiga tahun, ibunya menjemputnya pulang dari akademi dan merencanakan agar ia meneruskan studinya ke ilmu Kesehatan. Namun, untuk meraih profesinya sebagai dokter tidaklah mulus. Charles gagal dalam ujian medisnya yang pertama. Akan tetapi ibunya selalu meyakinkannya bahwa ia akan berhasil, dan ibunya juga berhasil membujuk ayahnya untuk mebiayai kuliahnya satu tahun lagi. Hingga akhinya pada ujian berikutnya Charles berhasil. Dan betapa beruntungnya dia yang pada saat itu di pinggiran kota Rouen ada seorang dokter yang meninggal, sehingga di sana belum ada dokter yang menggantikannya. Permasalahan hidup Charles pun kini berubah lagi, setelah ia menjadi dokter meskipun hanya dokter desa, ibunya melihat anaknya harus ada pasangannya. Ada seorang janda kaya yang usianya jauh dari Charles, orang tuanya menjodohkan Charles dengan janda tersebut, tentu saja ia menerima perjodohan tersebut. Kehidupan pernikahan Charles sangatlah membosankan bagi pria tersebut, dengan seorang istri yang tua dan tidak ia cintai.

Namun suatu ketika, Charles dipanggil untuk mengobati kaki salah satu buruh perkebunan milik ayah Emma yaitu Monsieur Rouault, dan di sanalah keduanya mulai bertemu dan saling mengenal. Tidak lama ketika Charles harus bolak-balik ke rumah Monsieur Rouault, istri Charles meninggal. Charles yang sudah jatuh hati kepada Emma pun langsung meminangnya setelah beberapa bulan istrinya meninggal.

Novel ini bersetting di kota kecil yang ada di Perancis pada abad ke-19. Sebagai orang yang sejak kecil menghabiskan hidupnya di desa, Emma sangat mendambakan kehidupan kota besar, tentu saja kota yang sangat ingin Emma datangi adalah kota Paris. Apalagi ia yang sangat menyukai membaca novel-novel roman. Karena membaca novel-novel tersebut membuat Emma mendambakan juga diperlakukan romantis oleh pasangannya. Namun, seperti yang telah ditulis di blurb, Monsieur Bovary adalah pria yang biasa-biasa saja, bahkan karena sebagai dokter yang ada di desa, Monsieur Bovary bisa dibilang sangat andal dalam pekerjaannya tersebut. Namun untuk urusan sebagai suami yang romantis, Monsieur Bovary tidaklah seandal dalam pekerjaanya sebagai seorang dokter.

Apa yang diharapkan Emma dari Charles tidaklah kunjung datang, sampai suatu ketika, Monsieur Bovary dan Emma diundang di sebuah pesta, di sana Emma bertemu dengan seorang pria. Dan mulai di sinilah perjalanan Emma dalam mewujudkan impiannya mengenai pasangan yang romatis itu datang. Bahkan demi impiannya tersebut, Emma mengabaikan statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Dan karena demi mewujudkan dambaannya itu Emma juga mengorbankan segala hal.

Perempuan seperti Emma, tentu tidak hanya ada di novel saja, begitu pula pria seperti Charles, Leon dan Rudolf. Jika kita sudah memasuki usia dua puluhan atau jika kita berteman dengan orang-orang di sekitar kita yang sudah menikah, baik itu yang usia dua puluhan maupun yang tiga puluhan ke atas, perilaku-perilaku seperti keempat tokoh tersebut pastilah tidak akan asing dalam hidup kita. Hal ini terutama jika seseorang memasuki masa puber kedua.

Sekitar empat tahun lalu yang pada saat itu usia saya dua puluh tahun, seorang rekan kerja mengeluh mengenai betapa capeknya bekerja, betapa sulitnya mencari uang. Lalu tiba-tiba dia menyeletuk mengenai pernikahan, katanya lebih baik menikah saja, jadi sebagai perempuan dia tidak harus bekerja mencari uang. Karena dengan menikah, katanya itu nanti uangnya dari suami, intinya pengin apa-apa nanti tinggal minta saja ke suami. Ya, ini kalau sebagai perempuan kalian beruntung bertemu pasangan yang bisa menafkahi sepenuhnya apa pun kebutuhan kalian. Atau sebagai pria, kalian berjuang keras demi mempertahankan agar perempuan kalian bisa sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Tetapi, menurut saya, mau itu pernikahan dengan tingkat perekonomian di atas, menengah atau ke bawah pun sebagai perempuan — istri — kalian jangan terlalu mengandalkan penghasilan suami. Dan percayalah, perempuan atau istri yang memiliki pekerjaan atau karier itu juga akan sangat baik bagi kehidupan rumah tangga (ini hanya pendapat saya, karena berdasarkan apa yang saya amati di lingkungan sekitar saya yang mayoritas masyarakat menengah ke bawah dan mayoritas perempuannya memiliki pekerjaan atau karier).

Pada saat itu saya berpikir dan hanya bergumam dalam hati, karena jika saat itu saya membantah ucapannya, saya tidak enak jika perkataan saya nantinya membuat dia sakit hati. Walaupun saat itu rasanya saya ingin membuka lebar-lebar pemikiran dia yang begitu sempit mengenai pernikahan yang hanya sebatas mempertahankan perekonomian dan gaya hidup demi kelangsungan hidup dia sebagai perempuan.

Menurut saya, kita sebagai perempuan ketika hanya mendambakan sesuatu dan itu tidak kita usahakan dengan jerih payah sendiri melainkan hanya berangan-angan saja dan hanya mengandalkan dari seorang pria (suami) itu mungkin suatu saat akan merugikan diri kita sendiri.

Seperti halnya Emma dalam novel ini, dia kehilangan akalnya hanya karena dambaannya ketika masih muda. Begitu pula teman-teman saya yang memilih menikah muda. Hal-hal seperti ini saya tidak bisa men-judge-nya, karena itu sudah keputusan mereka.

Namun, bagi saya, jika kita sebagai perempuan ingin meraih kebahagiaan misalnya dari mewujudkan impian-impian kita, pernikahan bukanlah jalan yang ditempuh. Meskipun bisa saja ada sebagian orang yang dengan menikah bisa bahagia dan bisa mewujudkan impian mereka. Akan tetapi, tetap saja, dalam pernikahan itu pasti tidak sepenuhnya ada kata bahagia (bahagia dalam setiap kehidupan manusia itu tentunya berbeda-beda). Tidak hanya pernikahan, kehidupan seseorang yang sendiri atau memilih sendiri pun sebahagia apa pun mereka, adakalanya pasti ada yang membuat mereka harus merenungkan kehidupan-kehidupan yang tidak mulus ini.

Saya hanya memberikan 3 bintang untuk novel yang tragis ini.

--

--

Tike Yung

Manusia yang menyukai buku, sejarah, seni, dongeng, biru, omelet wortel dan orek tempe.