Phantom in My Mind

Tike Yung
9 min readJan 28, 2024

--

Aku tidak bisa tidur lagi, bahkan saat matahari hampir menampakkan dirinya di timur sana dan bintang-bintang di langit hampir meredupkan sinarnya.

Seharian ini isi kepalaku sangatlah ramai, saling meminta ditunjuk, di antara berbagai rencana yang selalu aku pikirkan, tentang bagaimana caranya mati dan akan berakhir seperti apa nantinya. Terlalu banyak rencana yang aku miliki sampai-sampai membuatku terjaga semalaman dan aku sampai detik ini tidak merasakan kantuk sama sekali. Aku tahu, ketika dalam keadaan seperti ini, aku memanglah sedang tidak normal. Ketidaknormalan ini sudah aku ketahui secara medis itu sejak usiaku seratus sembilan puluh dua bulan, jika dihitung dari usiaku yang sekarang berarti sudah dua ratus dua bulan aku mengetahuinya. Entah sudah berapa ratus bulan aku hidup dalam keadaan yang kurang pasti setiap waktunya, karena aku baru benar-benar mengetahui monster yang ada di kepalaku di hari itu setelah berkali-kali aku menjalani konseling dan awal mula aku harus menjalaninya adalah setelah peristiwa itu. Namun, kalau aku ingat-ingat, sejak aku kecil, aku ini memang aneh, aku terkadang merasa tidak seperti anak-anak lainnya. Tapi peristiwa dua puluh dua bulan lalu memang sepertinya yang telah membangunkan monster di kepalaku. Karena sejak itu terkadang aku tidak tahu besok aku masih menjadi manusia tidak normal atau bisa kembali normal, aku juga tidak tahu apakah monster di kepalaku akan menyuruhku untuk tetap tinggal atau menghilang.

Misalnya saja kejadian satu minggu yang lalu ketika aku sedang bersepeda di malam hari, tiba-tiba saja pikiranku langsung terbesit untuk melaksanakan salah satu rencanaku, sehingga aku mengayuhkan sepedaku sampai keluar dari jalur sepeda dan aku hampir saja tertabrak dengan kendaraan beroda empat. Tapi rencanaku itu gagal karena mobil yang sepertinya hendak parkir di sisi jalan itu langsung tersebut mengklaksonku. Setelah kejadian rencana yang gagal tersebut, aku kembali mengayuhkan sepedaku, karena kegagalanku untuk mati tadi, aku hanya berpikir kalau aku butuh milk tea favoritku. Seharusnya aku tidak terhasut oleh pemikiran-pemikiran menyeramkan di kepalaku yang memang sudah tercemar oleh monster, karena jika aku mati, aku tidak akan bisa meminum milk tea lagi. Jadi saat ini aku menghentikan sepedaku di parkiran sepeda dekat dengan salah satu food truck yang menjual milk tea favoritku, food truck yang serba berwarna biru ini tidak hanya menjual milk tea tapi juga ada berbagai varian minuman yang dari kopi, teh, dan susu, tentunya ada bagel yang sangat lezat sekali. Setelah memarkirkan sepeda, aku berjalan kaki ke arah food truck tersebut, hari ini tidak terlalu ramai bahkan hanya ada satu pembeli yang sama sepertiku baru datang, tapi pembeli yang mengenakan hoodie putih dan masker tersebut sudah memesan dan hendak duduk di kursi sembari menunggu pesanannya.

“Laoban[1], milk tea dan bagel satu seperti biasa ya,” ucapku, sambil menunggu pesananku jadi, aku pun duduk di salah satu kursi yang hanya berjarak dua kursi dengan pembeli ber-hoodie putih yang terlihat sedang sibuk dengan ponselnya.

“Apa kau baik-baik saja?”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar oleh telingaku, mungkin saja itu suara para pejalan kaki, karena jalanan sekitar Alun-alun Monumen Gempa Tangshan ini sangat ramai didatangi oleh pejalan kaki terutama di sore hingga malam hari seperti saat ini. Tapi masa iya suaranya terdengar sangat dekat denganku? Rasanya tidak mungkin jika itu suara para pejalan kaki. Kalau bukan suara orang-orang tersebut, lalu suara siapa? Aku mengerutkan dahiku, bingung. Ah mungkin pendengaranku ada yang salah, apalagi tadi aku habis diklakson suara mobil.

“Aku berbicara denganmu.”

“Eh?” Aku menolehkan kepalaku yang tadinya terlalu serius membaca papan menu yang ada di food truck XBlue Tea ini-aku belum mencoba semua varian minumannya kecuali milk tea dan bagelnya yang memang enak sekali dan selalu aku beli hampir setiap kali aku bersepeda sampai di daerah sini. Dan pemilik suara yang menanyakan keadaanku itu ternyata ada di sampingku-aku langsung tahu karena dia juga menoleh ke arahku-yang memang hanya berbeda dua kursi dari tempatku duduk. Aku lupa kalau aku bukan satu-satunya pembeli yang menunggu milk tea. Tapi, tunggu, “Heh? Aku? Maksudmu kau bertanya padaku?” Aku menunjuk diriku lalu menunjuknya bergantian dengan jari telunjukku.

“Hmmm.” Dia menganggukkan kepalanya dan matanya melihatku. Aku hanya bisa melihat matanya saja, karena dia memakai masker dan tudung hoodie yang menutupi kepalanya “Aku melihatmu, tadi kau yang hampir tertabrak mobil di sana, kan?” Dia menunjuk jalan yang tadi membuat rencanaku gagal.

Mataku melirik mengikuti arah tangannya tersebut, lalu aku melihatnya karena dia ternyata sudah melihatku, lebih tepatnya seperti menyelidikiku dengan kedua matanya yang seperti boba itu. Aku terdiam, terlalu bingung apa yang harus aku jawab atas pertanyaannya itu, sebenarnya aku memang baik-baik saja. Yah, sepertinya memang baik-baik saja.

Aku langsung berdiri di depannya, “Kau lihat nih, aku baik-baik saja, sayang sekali aku tidak mendapatkan luka sedikit pun di tubuhku ini,” kataku yang sembari memegang kakiku dan tanganku secara bergantian menunjukkan padanya.

Dia terkekeh, aku mendengarnya, aku yakin dia mungkin tertawa di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya itu. Tapi, apanya yang lucu?

“Oh, syukurlah, tapi meskipun tubuhmu baik-baik saja, mungkin saja sepedamu yang terluka,” ujarnya dengan mata bobanya yang melirik sekilas ke arah sepedaku yang terparkir.

“Apa? Hah? Wahhh iya benar juga!” Aku terkejut, aku baru menyadarinya, bahkan aku hampir lari ke parkiran sepedaku.

Ketika aku hendak lari ke parkiran sepeda, aku mendengar Laoban meneriakkan kata Ocean, dan aku melihatnya berdiri lalu berjalan ke tempat pengambilan milk tea. Namun aku tetap lanjut berjalan ke parkiran untuk mengecek keadaan sepedaku.

“Aku duluan ya, hati-hati membawa sepedanya, kalau kau masih belum lancar mengendarai sepedamu, lebih baik jangan berkendara di jalan besar dan di malam hari seperti ini.” Dia berbicara setelah meminum milk tea yang ada di tangannya dan dia berjalan melewatiku, tapi setelah beberapa langkah agak jauh dariku, tiba-tiba saja dia berhenti dan membalikkan badannya kembali ke arahku. “Ah iya, kalau dia terluka, kau harus segera memperbaikinya,” ujarnya yang terdengar lantang sembari tangannya menunjuk ke arah sepedaku, ia lalu pergi meninggalkan food truck XBlue Tea dan aku yang masih berdiri di samping sepedaku.

Ucapannya mengenai sepedaku sedikit membuatku memikirkan hal yang lainnya. Kini aku melihat sepedaku dengan makna yang berbeda. Lalu aku menolehkan kepalaku, aku melihatnya yang berjalan semakin menjauh dan ketika dia berjalan melewati lampu jalan, tulisan IT’S OK TO TALK. SO, GO SPEAK YOUR MIND di hoodie-nya-di bagian punggungnya-seakan langsung menyihirku.

“Shiyi… Shiyi… LIN SHIYI.”

Suara Laoban XBlue Tea yang memanggilku dengan agak sedikit keras langsung mengagetkanku dari ketidaksadaran pada pikiran yang sempat terlintas ketika aku membaca tulisan di hoodie cowok itu. Setelah mengambil milk tea dan bagel milikku dan kuletakkan di keranjang sepeda, aku langsung pergi dan mengayuh sepedaku menuju ke lokasi favoritku yang masih berada di alun-alun ini.

Speak your mind? Isi kepalaku yang sudah terkontaminasi oleh monster ini apakah bisa kuajak bekerja sama agar mau mengeluarkan suara-suara itu? Karena setiap kali sesi konseling, aku terkadang lebih sering terdiam, dan menjawab singkat-singkat apa yang ditanyakan padaku. Bahkan terkadang aku bingung, kata apa lagi yang harus aku keluarkan dari mulutku ini untuk menjawabnya, karena semua kebisingan yang ada di kepalaku itu terkadang sangat sulit sekali dideskripiskan dengan kata-kata entah secara lisan atau tertulis. Tidak hanya pikiranku saja yang memang sudah dikuasai oleh monster, tapi perasaanku juga sudah diserang. Sehingga aku sering merasa bahwa apa yang ada di dalam diriku ini, perasaan-perasaan yang seharusnya mungkin bagi orang normal itu bisa saja ada bahagia atau semangat itu seperti sudah hilang. Sepertinya monster itu sudah mulai melahapnya dengan pelan-pelan sejak hari itu.

“Hei… kita bertemu lagi.”

Aku baru saja memarkirkan sepedaku di parkiran sepeda yang ada di taman, dan cowok yang tadi kutemui saat membeli milk tea tiba-tiba berdiri di belakangku, sehingga aku sedikit terkejut dan langsung berbalik ke arahnya-aku bisa langsung tahu bahwa itu dia karena selain dari suaranya tentu dari hoodie yang dikenakannya, lebih tepatnya tulisan bordiran itu ternyata juga ada di bagian depan hoodie-nya. Dia berdiri menjulang tinggi di hadapanku, sehingga membuatku agak sedikit mendongkak untuk melihatnya, lalu aku beralih melihat tulisan di hoodie-nya lagi. Kenapa hanya kalimat seperti itu saja bisa langsung membuatku banyak berpikir?

“Apa sepedamu baik-baik saja?”

“Hmmm,” aku menjawab dengan dehaman.

“Kalau begitu, apa aku boleh pinjam sepedamu?” Tiba-tiba saja dia bertanya padaku dan ingin meminjam sepedaku seolah-olah kita sudah saling mengenal.

Aku melihat sepedaku lalu beralih meliriknya yang masih menunggu jawabanku. Sebenarnya aku tidak curiga padanya, karena wajahnya terlihat bukan orang jahat. Tapi masalahnya zaman sekarang, wajah yang terlihat baik pun bisa jadi penjahat.

“Aku tidak akan mencuri sepedamu, ini kausimpan ponselku saja sebagai jaminannya,” katanya dengan sedikit agak memohon sembari menyodorkan ponselnya yang ternyata LCD-nya sudah retak parah. “Kalau ponselku tadi tidak jatuh, dan tidak mati, aku pasti sudah menyewa sepeda untuk mengelilingi alun-alun ini,” lanjutnya. Ia lalu mengulurkan tangan kanannya yang kosong, “Ah iya, aku Jinhai, Ren Jinhai, Jin yang artinya emas, dan Hai artinya samudera,” ucapnya yang menjelaskan setiap kata dari arti namanya.

Oh pantas saja tadi pesanannya atas nama Ocean, benakku yang tiba-tiba teringat awal mula pertemuanku dengannya saat kami sedang menunggu milk tea. Sepertinya aku tidak mungkin diam saja, rasanya tidak sopan melihat orang mengulurkan tangannya padamu tapi dibiarkan menggantung, apalagi kedua tangannya terulur di hadapanmu-yang tangan kirinya, dia memberikanku ponselnya yang retak, dan yang kanan dia ingin berkenalan denganku. “Shiyi, Lin Shiyi, Shi dari puisi, Yi dari seni,” balasku yang menyambut uluran tangan kanannya yang kosong dan mengikutinya menjelaskan artinya.

“Ini ponselku,” Jinhai kembali menyerahkan ponsel rusaknyaa.

Namun aku tidak menerimanya. Lagipula buat apa ponsel yang sudah rusak tapi buat jaminan dan kalau mau pinjam ya tidak apa-apa, walaupun memang sepedaku tidak sebanding dengan ponselnya-kalau tidak rusak. Tapi jaminan pinjam sepeda dengan ponsel yang LCD-nya bahkan sudah terlihat mengerikan seperti isi kepalaku saat monster itu datang? Hmmm penyewa sepeda pun pasti tidak akan mau.

“Yah meskipun aku baru pindah ke kota ini, tapi percayalah aku bukan pencuri. Lagipula mana ada pencuri bertampang sepertiku ini. Kau bahkan tadi lihat sendiri saat aku membeli milk tea, aku membayarnya dengan WeChat Pay dan menggunakan ponselku yang ini sebelum rusak karena tadi terjatuh di jalan saat aku sambil minum milk tea dan ada orang yang berlari tiba-tiba menabrakku dan yeahhhh fiyuuuunggg… ponselku terbang dan langsung terjatuh prakkk!!!” ucapnya panjang lebar karena menceritakan kejadian sial yang menimpa ponselnya.

Aku menahan mulutku untuk tidak terbuka dan tertawa, apalagi membayangkan kejadian ponselnya yang terbang dan terjatuh yang diceritakan oleh Jinhai dengan intonasi suaranya yang seperti pendongeng pada anak-anak.

“Sebentar aku ambil milk tea dan bagel milikku dulu yang ada di keranjang,” ujarku yang mengisyaratkan bahwa aku mengizinkannya meminjam sepedaku.

“Terima kasih, orang baik memang akan dipertemukan dengan orang yang baik juga,” katanya yang sudah memegang stang sepeda milikku. “Oh kau sekolah di SMA 2 Tangshan juga? Senin depan, aku akan jadi siswa baru di sana,” suaranya agak terkejut ketika melihat stiker logo sekolahku yang aku tempel di bagian top tube sepeda.

“Tunggu,” ucapku yang langsung menghentikannya sebelum mengayuh pedal sepedaku. “Itu…” aku menunjuk hoodie-nya, “kenapa kau memakai hoodie dengan tulisan seperti itu?”

Dia menundukkan kepalanya, lalu berkata, “It’s ok to talk. So, go speak your mind. Dulu waktu beli, aku langsung tertarik dengan tulisannya, jadi ya aku langsung beli.” Kepalanya mendongak, dan mungkin dia melihatku yang masih menatap tulisan tersebut. “Oh… kau mau jaminannya bukan ponselku yang rusak ya, tapi hoodie ini?” Jinhai langsung turun dari sepeda, dan tiba-tiba melepas hoodie-nya, dan langsung memberikannya padaku. Sekarang dia hanya mengenakan t-shirt putih Supreme yang tertulis di bagian depannya.

“Maksudku bukan ini,” aku menyerahkan kembali hoodie-nya. “Maksudku, bagaimana jika isi pikiranmu sudah dikuasai oleh monster, bahkan tidak hanya monster saja, seperti ada phantom juga yang terkadang tiba-tiba datang dan mengendalikanmu. Apa dengan adanya mereka, isi pikiran yang asli… benar-benar yang asli tanpa pengaruh dari monster atau phantom itu bisa berbicara?”

Dia terdiam menatapku, bahkan dahinya sempat berkerut, begitu pula aku, aku terdiam menunggu jawaban atas pertanyaanku yang pasti tidak masuk akal baginya-tapi memang itu pertanyaan yang aneh yang tiba-tiba saja ingin ditanyakan oleh orang aneh sepertiku.

“Kalau di film-film superhero yang aku tonton, misal seperti Ultraman, itu monsternya bisa dikalahkan walaupun memang butuh perjuangan. Jadi, kupikir, meskipun pikiran kita sedang dikuasai oleh monster atau phantom, asal kita punya Ultraman dalam diri kita, pasti monster atau phantom itu bisa kalah, dan tidak menguasai pikiran kita lagi,” ucapnya, yang kulihat dia mengatakannya dengan percaya diri apalagi wajahnya terlihat serius.

Ultraman? Benakku bertanya.

“Hei… Shiyi, apa aku sudah boleh meminjam sepedamu?”

“Hah?” Aku mengerjap karena terkejut telapak tangannya melampai tepat di depan wajahku. Apa aku tadi melamun karena memikirkan Ultraman dari jawabannya Jinhai? “Oh, iya, tapi jangan lama-lama, jam sepuluh aku harus sudah pulang ke rumah,” lanjutku ketika aku melihatnya yang menatapku seperti sedang menunggu izin dariku.

“Ok,” ucap Jinhai yang kemudian pergi dengan membawa sepedaku. Namun sebelum dia benar-benar menjauh, dia tiba-tiba saja berteriak, “Shiyi… aku yakin monster itu pasti bisa dikalahkan oleh Ultraman!”

Ren Jinhai, cowok yang baru kukenal itu sudah pergi mengelilingi taman dengan meminjam sepedaku. Sedangkan aku masih berdiri mematung di parkiran sepeda karena sedang mencerna kalimat yang diteriakkan olehnya yang menanggapi pertanyaan anehku mengenai monster yang menghuni pikiranku dan phantom yang terkadang datang untuk mengendalikanku itu dengan jawaban tentang Ultraman. Yang katanya tadi pasti bisa dikalahkan. Apakah aku bisa seperti Ultraman yang bisa mengalahkan monster di pikiranku?

_ THE END

[1] Laoban dalam bahasa Mandarin artinya pemilik toko/penjual.

--

--

Tike Yung

Manusia yang menyukai buku, sejarah, seni, dongeng, biru, omelet wortel dan orek tempe.