Resensi “Aib dan Martabat” karya Dag Solstad

Tike Yung
5 min readOct 10, 2018

--

JUDUL: Aib dan Martabat (Genanse og verdighet)
PENULIS: Dag Solstad
PENERJEMAH: Irwan Syahrir
PENERBIT: Marjin Kiri
ISBN: 987-979-1260-57-2
CETAKAN: Pertama, April 2016
TEBAL BUKU: 138 halaman

"..., orang harus mati dulu sebelum dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah." (Halaman 23)

Novel ini dibuka dengan kegiatan senin pagi seorang guru bahasa Norwegia di SMA Fagerborg, bernama Elias Rukla. Beliau berusia 50an, sudah menjadi guru bahasa Norwegia sekitar 25 tahun, dan memiliki seorang istri (yang menurut Elias Rukla dulunya cantik sekali hingga tak mampu mendeskripsikannya dengan kata-kata) yang setiap paginya selalu dia ucapkan kata "sampai jumpa", begitu juga balasan dari sang istri. Dan di pagi itu juga ia membawa sebuah payung, karena cuaca memang sedang musim penghujan.

Elias Rukla, (mungkin) seperti halnya guru di seluruh dunia yang mengajar mata pelajaran bahasa ibu. Mereka sebagai guru mata pelajaran tersebut, (mungkin) rata-rata cenderung mendapatkan respon kurang menyenangkan dari murid-muridnya di kelas mereka. Semacam jenuh mendengarkan mereka yang sedang menerangkan penggunaan bahasa ibu yang baik dan benar--terutama secara tertulis--atau juga pembahasan mengenai karya sastra dari penulis dalam negeri (puisi, prosa, pantun, novel, hingga drama).

Dan, dalam novel "Aib dan Martabat" ini, Elias Rukla sang guru mata pelajaran bahasa Norwegia, tentu saja salah satu tugasnya adalah mengajak generasi muda bangsanya agar mencintai bahasa mereka, salah satunya dengan cara membaca karya-karya sastrawannya.

Namun nyatanya di kelas yang ia ajar, ia yang sedang membahas "Itik Liar" sebuah drama karya Henrik Ibsen (sastrawan Norwegia). Drama yang sudah bertahun-tahun ia ajarkan pada murid-muridnya, di kelasnya itu selalu saja dalam keadaan pura-pura, bahkan dari murid terpintar sekalipun.

Membaca bagian ini, menurut saya, bahwa mengajak anak sekolahan (remaja) untuk membaca (menyukai) sastra itu hal yang membutuhkan kerja keras yang amat sangat. Karena apa? Karena di usia tersebut mereka hanya ingin bersenang-senang, begitu pun dengan bacaan mereka. Akan tetapi, tentu saja tidak semua remaja seperti itu (ada juga kok yang suka sastra, bahkan tergila-gila).

Bahkan bukan hanya remaja saja yang mengganggap sastra itu berat dan membosankan. Orang yang sudah berusia 21+, beberapa dari mereka yang sudah di usia itu juga masih enggan untuk membaca sastra. Untuk usia yang sudah dewasa tersebut alasannya apa? Rata-rata berdasarkan yang saya dengar, mereka mengucapkan, "hidupku sudah berat, aku nggak mau membaca yang berat-berat, apalagi yang bikin aku mikir." , "Aku membaca novel itu untuk refreshing, bukan untuk menambah pusing apalagi setelah pulang dari kerja." , dll alasannya. (Hmm... bukannya yang berat kata Dilan itu RINDU? 😁😂)

Di bagian ini juga, ketika bel berbunyi menandakan kelas telah selesai. Elias Rukla sebagai guru bahasa Norwegia, tidak pernah sekalipun mendapatkan binar mata atau reaksi dari murid-muridnya yang begitu bahagia mendengar bel berbunyi, daripada suaranya yang menerangkan "Itik Liar" karya Ibsen. Murid-muridnya juga langsung menghambur keluar kelas, mengabaikan Elias yang masih di mimbarnya.

Di luar kelas hujan turun, dan di hari itu Elias tidak ada jadwal mengajar lagi, jadi dia memutuskan untuk pulang saja. Namun, sebuah kesialan menimpanya. Payung yang ia bawa, tidak bisa terbuka, ia begitu kesal, emosi Elias meledak. Bahkan dengan bersikeras ia membuka payung itu, tetap saja tidak bisa terbuka, hingga payung itu telah melukai tangannya.

Apa yang Elias lakukan, ternyata dilihat oleh seluruh penjuru sekolah, termasuk muridnya. Elias yang sudah emosi pun langsung pergi meninggalkan SMA Fagerborg dalam keadaan hujan deras, dan menggenggam payung rusak yang sudah membuat tangannya berdarah.

Begitu keluar dari SMA Fagerborg, Elias tidak melangkah ke jalan pulang, melainkan ia menuruti apa yang hendak kakinya langkahkan. Di jalan dalam keadaan hujan yang belum tahu ke mana tujuannya inilah novel "Aib dan Martabat" memulai memflashback kisah Elias Rukla. Dari ia yang memulai kuliah di Universitas Oslo, yang membuat Elias bertemu dengan Johan Corneliussen di Jurusan Filsafat, yang kemudian menjadi sahabatnya. Kedua sahabat yang hampir tak terpisahkan, yang selalu berbincang mengenai banyak hal, dari olahraga hingga filsafat. Bahkan sampai Johan menikah terlebih dulu pun persahabatan mereka tetap erat, hingga terkadang Elias harus menginap di apartemen kecil milik Johan yang di huni istri juga putri kecilnya.

Johan ini mahasiswa master yang menulis tesis mengenai Immanuel Kant. Yang membuat Johan digosipkan akan menjadi mahasiswa dengan masa depan cerah, juga digadang-gadang akan dikenal sebagai filsuf besar dari Norwegia. Si Johan Corneliussen ini juga mendeklarasikan diri sebagai seorang Marxis.

Lalu bagaimana dengan masa depan Elias Rukla? Elias sudah menjadi guru bahasa Norwegia di SMA Fagerborg sejak ia baru lulus.

Di sini, saya berpikir, bahwa yang membuat emosi Elias Rukla meledak hanya gara-gara payung yang tidak bisa terbuka itulah bersumber dari perasaan bertahun-tahun ini.

Iya, bahwa setiap pekerjaan atau profesi yang dulu sempat kita cita-citakan, ternyata lama-lama bisa menimbulkan kejenuhan. Bahkan terkadang penyesalan, seperti yang Elias rasakan. Kenapa ia menjadi guru bahasa Norwegia? Yang kebanyakan dari masyarakat tidak bisa menghargainya sedikit pun. Di koran atau televisi pun tidak memberitakan orang sepertinya, yang padahal profesi sebagai guru bahasa ibu juga termasuk pejuang. Mereka penyelamat bahasa ibu dari kepunahan. Apalagi di zaman sekarang yang generasi mudanya lebih tertarik belajar bahasa asing, dari pada berusaha mempelajari bahasa bangsanya sendiri.

4 🌟 untuk Pak Guru Elias Rukla yang telah membuat saya teringat dengan guru bahasa Indonesia selama 12 tahun saya sekolah plus 1 tahun di TK 😁.

Terima kasih untuk Ibu Sugiarsih, Ibu Tuti, Ibu Rositi, Pak Han, Ibu Yayah, dan Ibu Diana, yang sudah menjadi guru bahasa Indonesia saya. Terima kasih sudah menjadi satu dari sekian ribuan penyelamat bahasa Indonesia, di Indonesia ini.

Dan setelah membaca novel ini saya jadi tahu bahwa sekolah-sekolah di Norwegia sana, terdapat kurikulum karya sastra yang wajib dibaca oleh siswa-siswanya yaitu drama "Itik Liar" karya Henrik Ibsen (ini udah ada terjemahannya tapi susah sekali mencari bukunya 😔). Seperti kalau di Indonesia itu ada "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer (mungkin ini belum semua sekolah, tapi kalau yang kuliah Jurusan Sastra Indonesia pasti wajib baca karyanya Pram) , di Amerika ada "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee, dan di Finlandia ada novel "Seven Brothers" karya Aleksis Kivi.

Nah, kalau sekolah di Spanyol novel apa ya? Apa jangan-jangan karyanya Miguel de Cervantes yang "Don Quixote de la Mancha"? 😋😱.

--

--

Tike Yung

Manusia yang menyukai buku, sejarah, seni, dongeng, biru, omelet wortel dan orek tempe.