空白 [Blank Space]

Tike Yung
13 min readJan 28, 2024

--

SEOUL, tengah malam di musim gugur pada tahun 2022.

Sudah beberapa jam yang lalu laki-laki itu duduk di kursi dengan layar monitor yang berada di atas meja kerjanya itu masih menampilkan DAW[1], kedua telinganya tertutupi oleh headphone yang mengeluarkan rangkaian nada yang tadi berasal dari midi keyboardnya. Ia melihat jam di pojok kanan monitornya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia pun menyimpan hasil karyanya yang tadi sempat terlintas ketika ia melihat daun yang telah berguguran terlepas dari tangkainya dan mulai berubah warnanya. Terkadang inspirasi memang datangnya tiba-tiba, bahkan hanya mendengar suara angin yang menerbangkan dedauanan pun seperti muncul nada atau rangkaian kata. Maka dari itu ketika dia sudah sampai ke dorm pun, ia akan langsung mengerjakan inspirasinya itu yang sebelumnya sudah ia catat di ponselnya. Namun, karena besok ia masih memiliki jadwal lainnya, ia tidak bisa menyelesaikan semuanya malam ini juga. Ia pun melepas headphone dan mematikan komputernya. Tangannya mengambil ponsel yang sedari tadi terabaikan, sembari merebahkan badannya di kasur, tiba-tiba saja ia terbesit ingin membuka akun Weibo lamanya, akun Weibo yang pertama kali ia buat ketika ia juga pertama kali sudah mendapatkan izin untuk memegang gawai sendiri dari orang tuanya, yaitu ketika ia sudah memasuki bangku SMA.

Ketika ia sudah berhasil masuk di akun Weibo lamanya yang username-nya belum pernah ia ganti sejak tahun 2010 saat ia pertama kali membuka akun weibonya tersebut, username yang hanya terdiri dari tiga huruf hanzi namanya dan awalan per huruf pinyin dari namanya yaitu 张凌云_zly. Beberapa following yang memang teman-teman lamanya semasa sekolah dulu sepertinya sudah tidak aktif atau mungkin telah mengganti akunnya, bahkan isi timeline pun terlihat tidak terlalu banyak update dari teman-temannya. Akan tetapi ketika dia menggulir timeline sampai pada postingan seminggu yang lalu, ibu jarinya yang ia gunakan untuk menggulir timeline itu langsung berhenti bergerak. Dia berhenti pada postingan Weibo yang hanya ada sebuah foto tangan dengan jari manisnya yang kini sudah terlingkar cincin berlian yang indah dengan captionnya sebuah emoji sepasang pengantin.

Karena melihat postingan Weibo tersebut, ia langsung teringat dengan seseorang yang sudah hampir sepuluh tahun meningggalkannya dan memberinya amanah yang bahkan dia sendiri merasa bahwa amanah tersebut belum dia laksanakan dengan benar.

“Kau pasti sudah tahu lebih dulu daripada aku yang baru tadi mengetahuinya. Karena dia sudah menemukan seseorang yang tepat untuk berada di sampingnya, apakah itu artinya aku tidak perlu lagi menjadi perisai bayangannya seperti yang kau inginkan dulu?” Laki-laki itu mengubah posisi tidurannya dengan kedua tangannya yang kini ia lipat di bawah kepalanya dan menjadikannya bantal. “Lagi pula, kau ini aneh sekali pada waktu mengucapkan kalimat itu di saat kau sendiri sudah tahu, aku tidak akan selalu berada di Beijing, bahkan sampai sekarang pun sejak terakhir kali kita bertemu, aku lebih lama tinggal di Seoul, aku juga tidak terlalu mengenalnya, hanya tau namanya dan wajahnya saja.” Ketika benaknya sedang berbicara sendiri, matanya menatap langit-langit kamarnya tapi pikirannya melayang ke masa lalu, masa ketika dia masih mengenakan seragam SMA. “Dan kalau diingat-ingat, aku hanya pernah sekali mengobrol berdua dengannya, itu pun saat itu karena dia sedang menunggumu, pada waktu itu aku tidak mungkin berdiam saja, karena pastinya akan semakin canggung kalau aku tidak memulai obrolan dengannya.” Seutas senyum tertarik dari bibir laki-laki itu ketika ia mengingat betapa anehnya dia dulu. “Saat itu aku dan dia hanya membicarakan Zhōu Jiélún[2], idola kita.”

-o0o-

Chengdu di awal musim panas pada tahun 2012.

“Lagu yang akan saya putar ini adalah salah satu lagu yang ada di album barunya Zhōu Jiélún yang akhir tahun kemarin baru dirilis. Ah iya, untuk seluruh kakak kelas tiga yang sudah menyelesaikan Gaokao[3], selamat berlibur, semoga nanti bisa masuk ke univestitas impian kalian. Dan untuk teman-teman kelas satu dan dua kalau kalian hafal liriknya, ayo kita bernyanyi bersama-sama.”

Suara tersebut berasal dari ruang penyiaran radio sekolah yang saat ini sedang on air. Sang penyiar yang ada di ruang tersebut tak lain adalah Zhang Lingyun, siswa kelas dua yang juga salah satu anggota klub radio yang saat ini memang gilirannya menjadi penyiar untuk radio sekolahnya itu.

Mei you ni de sheng huo, wo kai shi xie xiao shuo, hao duo hua mian hao duo ling gan…,”[4] Lingyun bersenandung ikut menyanyikan lagu yang telah diputarnya untuk radio sekolahnya itu.

Dan karena terlalu asik menyanyikan lagu tersebut, Lingyun tidak menyadari bahwa sedari tadi ketika temannya sedang ke toilet ternyata tidak lama kemudian begitu ia memutar lagu tersebut, ada seorang gadis yang berdiri mematung di pintu masuk ruang radio itu. Mata gadis itu berbinar dan sudut bibirnya tersenyum tanpa dia sadari ketika melihat Lingyun yang bersenandung sembari memejamkan matanya.

Cuz baby you are mine mine mine…” Lingyun menyanyikan bagian reff ini dengan matanya yang kemudian terbuka, namun tiba-tiba ia langsung terdiam tidak melanjutkan karaoke gratis di ruang radio itu karena tentu saja ketika matanya tadi terbuka, ia langsung melihat gadis itu sedang berdiri di depan pintu. “Oh… maaf… hmmm… apa kau mencari Lei?” Suara Lingyun terjeda ketika melihat gadis tersebut karena ia lupa siapa namanya, tapi seingatnya gadis tersebut temannya temannya, hah bagaimana cara menjelaskannya? Pokoknya gadis itu temannya Lei, dan Lei itu teman sekelasnya Lingyun yang juga hari ini memiliki jadwal sebagai penyiar di radio sekolah.

“Oh… iya… aku mencari Lei ge[5],” gadis itu menjawabnya dengan gugup bahkan suaranya yang tebata-bata itu terdengar di telinga Lingyun. “Ah iya aku minta maaf karena aku langsung masuk, dari tadi aku sudah mengetuk pintunya tapi tidak kau buka, kupikir karena radionya sudah on air dan lagunya sedang diputar jadi sudah pasti kau tidak mendengar suara ketukan pintunya, jadi… jadi… aku langsung membuka sendiri pintunya,” ucap gadis itu panjang lebar menjelaskan kenapa ia sudah ada di dalam ruangan radio, dia mengatakannya seperti dalam satu tarikan napas, tak lupa ia sembari membungkukkan badannya dengan posisi sembilan puluh derajat ketika meminta maaf.

“Tidak apa-apa,” balas Lingyun, ia sudah berdiri dari kursi yang tadinya ia duduki. “Dia tadi ke toilet, kau tunggu saja,” ia melanjutkan ucapannya, namun matanya sembari mencari sesuatu, Lingyun lalu melihat kursi kosong yang di sebelah kursinya Lei, “hmmm kau bisa duduk di sini dulu,” katanya sembari menunjuk kursi tersebut.

Gadis itu berjalan dengan ragu-ragu, ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk Lingyun. Setelah duduk di kursi itu, dia selalu menundukkan wajahnya, ia juga menangkupkan kedua telapak tangannya yang berada di pangkuannya itu dengan jari-jarinya yang saling bertautan, dan beberapa kali ia menggesekkan ujung kuku kedua ibu jarinya.

“Apa kau suka lagu-lagunya Zhōu Jiélún?” tanya Lingyun tiba-tiba sembari ia melihat monitor yang menampilkan deretan judul lagu milik Zhōu Jiélún yang memang sudah ia rencakan akan diputar di radio sekolah.

Kepala gadis itu langsung mendongak begitu Lingyun bertanya padanya, “ya…,” jawabnya singkat, namun begitu melihat Lingyun, ia dengan ragu dan sedikit gugup menambahkan, “maksudku… aku pikir tidak ada orang yang tidak menyukai karya beliau. Hampir seluruh orang di negeri ini hafal lagu-lagunya.”

Senyum di wajah Lingyun yang memperlihatkan lesung pipinya itu langsung merekah setelah mendengar jawaban dari gadis itu. “Benar juga. kalau begitu kau mau request lagu apa setelah ini?” tawarnya yang kali ini ia menatap wajah gadis itu sembari menunggu judul apa yang akan diucapkan.

“Hah?” gadis itu terkejut dengan tawaran Lingyun, karena setahunya, yang bisa request lagu itu harus mengirim surat terlebih dahulu sehari sebelumnya, sedangkan ia belum pernah mengirim surat ke radio sekolah. “Bukankah seharusnya….”

“Tidak apa-apa,” Lingyun mengucapkannya dengan tertawa kecil, ia lalu memelankan suaranya, “omong-omong, kau jangan bilang siapa-siapa ya, ini tadinya rahasa antara aku dan Lei saja, jadi kalau aku dan Lei yang sedang menjadi penyiar radionya, kami hanya akan memutar lagu-lagunya Zhōu Jiélún saja,” ucapannya yang terdengar seperti bisikan angin musim semi di telinga gadis itu.

“Yun, sepertinya perutku tidak cocok makan…,” suara Lei terdengar di ruangan radio. “Oh, Xiyu, kau ada di sini?” Langkah kaki Lei berhenti begitu ia melihat gadis yang ia panggil Xiyu itu sedang duduk di kursi yang tidak jauh dari kursinya.

“Dia dari tadi menunggumu,” Lingyun menjawab terlebih dahulu padahal saat itu gadis yang bernama Xiyu itu hendak membuka mulutnya untuk mengatakan alasannya menemui Lei dan menunggu di ruang radio bersama Lingyun. Bahkan ketika Lei menyebutkan nama gadis itu, dalam hatinya Lingyun langsung terucap, “oh namanya Xiyu, kenapa aku sampai lupa, ya? Padalah Lei sering menyebutkan namanya kalau sedang menceritakan kisah persahabatannya yang sejak bayi itu.”

Xiyu berdiri dari kursi yang sedari tadi didudukinya begitu Lei berjalan menghampirinya dan Lingyun, tangan gadis itu mengambil sesuatu dari saku seragam sekolahnya. “Tadi pagi Ayi[6] lupa memberitahumu untuk membawa kunci rumah kalian dan kartu ATM, jadi Ayi menyuruhku memberikannya padamu. Ayi juga bilang kau jangan sampai lupa liburan nanti juga harus ke rumah Nainai[7],” ujarnya sembari mengulurkan tangannya yang memegang kunci gantungan miniatur pesawat dan sebuah kartu ATM ke telapak tangan Lei.

Lei menerima kunci dan kartu ATM dari Xiyu, “makasih, kalau kau tidak mengatakannya, aku pasti lupa kalau hari ini Mamaku akan ke rumah Nainai,”

“Sama-sama, kalau begitu aku pamit keluar.”

“Eh tunggu… Xiyu kau mau request lagu apa?” Lingyun menghentikan langkah kaki Xiyu yang tadinya seperti ingin cepat-cepat keluar dari ruang radio.

“Hmmm… Qingtian[8], makasih Yun ge, Lei ge, aku pergi dulu,” ucap Xiyu yang kemudian pergi setelah ia mengucakpan terima kasih ke kedua penyiar radio sekolah yang merupakan seniornya dan juga sahabat kecilnya. Xiyu meninggalkan ruang radio yang kini sudah memutarkan lagu yang di-request olehnya, Tentu saja dalam perjalanan di setiap langkahnya di koridor sekolah begitu ia meninggalkan ruang penyiaran radio itu, Xiyu menyenadungkan lagu itu, begitu pula Lingyun dan Lei yang ada di ruang penyiaran juga ikut bersenandung menanyikan lagu itu, lagu dari penyanyi favorit mereka, lagu yang sesuai dengan keadaan cuaca hari ini.

-o0o-

Chengdu di musim dingin pada awal tahun 2033

“Di sini masih enam jam lagi menuju tahun baru, omong-omong menurutmu lebih baik nanti aku mengucapkan yang mana dulu, Happy New Year atau Happy Birthday?”

Lingyun tidak menjawab pertanyaan dari orang yang empat menit lalu meneleponnya dengan alasan yang aneh dan menggelikan, orang itu adalah sahabatnya. Ketika melihat nama sahabatnya di layar ponselnya, Lingyun sempat menyerngitkan dahinya, perbedaan waktu dan jarak yang puluhan ribuan kilometer itu apalagi dengan alasan yang menggelikan yaitu katanya merindukan suaranya Lingyun, kalau saja di sekitarnya tidak sepi, sudah pasti Lingyun akan mematikan panggilan tersebut.

Yah sudah dipastikan hampir semua orang di kota ini sedang atau habis merayakan tahun baru, seperti dirinya yang satu jam lalu baru saja merayakan pergantian tahun dari tahun 2032 ke tahun 2033 dan tentunya merayakan bertambahnya usianya bersama kedua orang tuanya yang tahun ini bisa menghabiskan makan malam tahun baru bersama di rumah orang tuanya. Makan malam yang tidak bisa Lingyun lakukan setiap tahunnya, setelah beberapa tahun lalu hanya dilakukan melalui video call ketika ia berada di Seoul atau ketika ia berada di Beijing dan tidak bisa pulang ke Chengdu, maka kedua orang tuanya — terutama ibunya — yang akan datang mengunjunginya ke Beijing.

Tapi karena selama ia keluar dari rumahnya-lebih tepatnya tadi kedua orang tuanya menyuruhnya keluar karena katanya pemuda lajang sepertinya harus menghabiskan malam tahun baru di luar, bukan di dalam rumah bersama laptopnya-Lingyun hanya langsung berpikir bahwa ia ingin ke Sungai Jinjiang, dan selama ia berjalan kaki di sekitar Sungai Jinjiang ini suasana di sekitarnya agak lumayan sepi, walaupun beberapa kali ada orang lewat dan Lingyun mendengar suara kembang api dan teriakan bahagia orang-orang yang menyaksikannya. Jadi, berjalan kaki di sepanjang jalan sekitar sungai Jinjiang yang dulu sering ia lewati ketika pulang sekolah tersebut sembari menghabiskan malam tahun baru dan tentunya sambil mengobrol dengan sahabatnya meskipun hanya melalui ponsel itu telah membuatnya seakan tidak sendirian. Seharusnya panggilan ini bukan hanya mereka berdua saja, tapi Lingyun memaklumi ketika sahabatnya yang di London ini mengatakan bahwa sahabat mereka yang lainnya tidak menjawab panggilannya. Awal tahun ini mereka memang tidak mengisi acara untuk perayaan tahun baru seperti beberapa tahun sebelumnya, karena mereka semua sudah memutuskan ingin menghabiskan waktu libur akhir tahun dengan keluarga inti masing-masing.

“Eh, kali ini aku mau jadi yang pertama mengucapkannya.”

“Yang pertama apaan?!” bantah Lingyun karena ia sudah tahu bagaimana tabiat orang yang meneleponnya itu.

“Maksudku yang pertama mengucapkannya untuk waktu London hahaha.”

“Hufttt… sudah limabelas tahun lebih sepertinya memang tidak ada yang berubah,” Laki-laki itu hanya menghela napas mendengar ucapan sahabatnya yang ada di benua Eropa itu sembari mengingat sekilas tentang lamanya persahabatan mereka. “Omong-omong terima kasih, meskipun dari dulu kau selalu lebih dulu mengucapkan Happy New Year dan berpura-pura lupa dengan beralasan karena harinya sama, tapi hari ini aku baru tau kalau ternyata kau malah selalu megucapkannya ke Mamaku,” lanjutnya lagi ketika satu jam yang lalu ia baru mengetahui hal ini, jika saja Ibunya tidak menanyakan kabar sahabatnya itu yang kini bisa dibilang sudah menetap di London, dan tentunya beberapa tahun silam ketika ia dan sahabatnya itu masih sama-sama tinggal di Seoul itu sudah dianggap anak kedua oleh ibunya. “Oh iya selamat. Aku tidak menyangka kau akan menjadi seorang Baba[9]… yang benar-benar seorang Baba.” Lingyun menekan kalimat terakhir dengan nada suaranya yang seakan-akan menegaskan kata Baba.

“Ah padahal aku akan memberitahumu tepat jam duabelas malam nanti saat ulang tahunmu. Kenapa kali ini Mama tidak bisa bersepakat denganku.” Suara sahabatnya di seberang sana terdengar kecewa namun dengan suara yang dibuat-buat menyedihkan.

“Haha…,” Lingyun tertawa kecil mendengar ucapan sahabatnya. “Mama sangat antusias sekali ketika mengatakannya, pasti sangat bahagia sekali makanya dia tidak bisa menjaga rahasia yang sudah kausampaikan. Dan asal kau tau, Mama sampai berteriak ketika membaca pesan darimu,” kata Lingyun sembari mengingat kejadian beberapa jam yang lalu yaitu teriakan Mamanya yang mengatakan ‘aku akan menjadi Nainai! Aku akan punya cucu!’

“Tentu saja Mama sangat senang, anakku kan juga termasuk akan jadi cucu pertamanya,” ucapan sahabat Lingyun itu terdengar jumawa, namun kemudian dilanjutkan dengan sindiran, “karena anak pertamanya sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk bisa memberinya cucu.”

“Heh!”

“Iya..iya maaf..maaf… bercanda, Yun, kau kalau marah nanti cepat tua loh, eh tapi emang sudah tua ya hahaha.”

Lingyun menghela napasnya, ekspresi wajahnya datar, tentu saja ia mencoba untuk bersabar dengan setiap lontaran kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu.

“Yun, asal kau tahu ya, aku pun tidak menyangka akan bertemu istriku di waktu yang saat itu bahkan aku sendiri tidak memercayainya. Tapi memang benar juga, sepertinya meskipun kita tadinya tidak merencanakannya, kalau Tuhan sudah berkehendak mempertemukannya, ya itu sudah jadi takdir. Jadi kupikir, kau boleh serius dan fokus dengan kariermu, tapi sebaiknya kau jangan terlalu gegabah mengatakan tidak akan menikah. Aku yakin suatu saat kau akan merasakan apa yang aku rasakan ketika aku bertemu istriku,” ucap suara di seberang sana yang memiliki perbedaan waktu 6 jam dengan waktu di Chengdu.

Ucapan sahabatnya itu membuat Lingyun terdiam cukup lama. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa dirinya tidak memiliki keinginan sama sekali mengenai pernikahan, bahkan untuk mencoba menjalin hubungan romantis pun sampai sekarang di usianya yang baru saja menginjak angka 37 tahun, ia sama sekali belum pernah melakukannya juga. Kalau dulu ketika ia masih usia belasan tahun, memang hidupnya terlalu difokuskan dengan belajar, lalu ketika di usia dua puluhan, ia memfokuskan dirinya pada karier yang ingin ia raih bahkan karier tersebut sudah ia jalani sebelum lulus kuliah. Dan sekarang di usianya yang bahkan sudah lebih dari setengahnya tiga puluhan, ketika kariernya sudah bisa dibilang semua yang di masa mudanya ia cita-citakan dan targetkan kini sudah ia raih semua. Kehidupan yang Lingyun jalani pun ia rasa lancar-lancar saja, dari matahari terbit hingga matahari terbenam, dari ia membuka matanya hingga ia memejamkannya lagi. Ia juga masih tetap menjalani hobinya di tengah jadwalnya yang lumayan sibuk. Tapi dari semua kehidupan yang terlihat normal yang dijalani Lingyun selama bertahun-tahun tersebut, tiba-tiba saja hanya karena ucapan sahabatnya dan ia yang sekarang berdiri di bawah lampu jalan sembari masih memegang gawainya, Lingyun mempertanyakan sesuatu yang bahkan ia pun bingung kenapa ia baru mempertanyakannya sekarang. Pertanyaan mengenai sesuatu yang ternyata sama sekali belum pernah ia pikirkan sampai hari ini, sesuatu yang ternyata dalam dirinya ada sebuah ruang yang belum pernah ia jamah, ruang yang mungkin masih bersih dan kosong, ruang kosong yang ternyata sudah lama sekali tidak ia sadari keberadaannya.

Suara sopran di ponsel Lingyun membuat laki-laki tersebut mengerjapkan matanya, itu adalah suara istri sahabatnya yang menanyakan salah satu bahan makanan pada sahabatnya. Sepertinya sepasang suami istri itu sedang memasak bersama, karena katanya tadi untuk merayakan kehamilan dan tentu saja makan malam tahun baru sepasang suami istri yang telah menikah hampir dua tahun itu.

“Yun ge, wei[10]… Yun ge? Wei…wei…? Honey, apa Yun ge sudah mematikan teleponnya?”

“Ah, oh maaf, Mei[11], selamat untuk kalian, nanti kalau ada waktu senggang, mungkin aku dan Mamaku akan ke London, aku matikan dulu ya teleponnya, Mei, tolong sampaikan terima kasihku ke North, bye bye, Happy New Year.” Lingyun mematikan teleponnya setelah beberapa saat yang lalu dia terdiam terlalu lama mungkin ada sekitar lebih dari lima menit.

Terdiamnya Lingyun selain karena ucapan sahabatnya, juga karena ternyata tidak jauh dari tempatnya berdiri, matanya tanpa sengaja melihat seorang perempuan yang sepertinya pernah ia kenali. Perempuan yang juga sama-sama sedang berjalan di jalan yang sama dengan Linyun namun dari arah berlawanan. Perempuan itu adalah Chen Xiyu. Meskipun sekarang sudah terlihat dewasa, tapi Lingyun tidak akan pernah lupa bagaimana wajah perempuan itu, apalagi rambut hitam panjangnya yang ternyata tidak pernah berubah.

“Dia ada di sini? Bukankah dulu dia mengatakan di weibonya kalau dia akan pindah ke Toronto… setelah menikah.” Dalam benaknya, Lingyun bertanya-tanya, ia bahkan sempat menjeda ucapannya ketika mengingat status yang sudah disandang oleh Xiyu sejak hampir sepuluh tahun yang lalu.

Ternyata Xiyu melihat keberadaan Lingyun, sehingga keduanya pun saling berdiri membeku di tempat masing-masing, dengan jarak yang kira-kira hanya kurang dari sepuluh meter itu, keduanya terlihat sama-sama bingung dan ragu untuk saling menyapa dan melangkah terlebih dahulu. Semasa sekolah dulu Lingyun tidak terlalu akrab dengan Xiyu, begitu pula sebaliknya, tapi karena amanah dari Lei, telah membuat Lingyun seperti sudah mengenal Xiyu meskipun secara tidak langsung. Saat ini, setelah hampir dua puluh tahun, Lingyun bertemu lagi dengan Xiyu, karena seingatnya dulu terakhir bertemu dengan perempuan itu adalah di tahun 2013, tahun di mana ia dan Lei lulus SMA, tahun di mana ia dan Lei merayakan hasil nilai Gaokao mereka ketika sudah keluar.

Lingyun menyimpan ponselnya ke saku jaketnya, di tengah cuaca kota Chengdu yang sedang dingin, sembari melanjutkan langkah kakinya, dengan matanya yang masih tertuju ke arah perempuan itu, hati dan otaknya sibuk memikirkan kata atau kalimat seperti apa yang tepat untuk diucapkan atau menyapa Xiyu. Perempuan itu juga menatap Lingyun meskipun masih dalam posisi berdiri mematung, dan ketika Lingyun yang sedang berjalan ke arahnya itu sudah semakin dekat dengannya, kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan berwarna putih itu tanpa ia sadari langsung menangkup dengan jari-jarinya yang juga saling bertautan.

Meskipun Lingyun masih belum menemukan jawaban mengenai ruangan yang ada di dalam hatinya, ruangan yang masih kosong yang baru ia ketahui keberadaannya itu, tapi melihat teman semasa SMA-nya dulu-boleh kan dia menyebut Chen Xiyu teman SMA-nya? Meskipun memang dulu dia tidak terlalu akrab dengan perempuan itu-Lingyun merasa ada banyak hal yang harus ia katakan ke perempun itu, salah satunya pesan dari Lei yang belum tersampaikan, yang meskipun untuk saat ini-ah tidak sepertinya sejak sepuluh tahun lalu-pesan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, tapi Lingyun merasa tetap harus menyampaikannya ke Xiyu. Perempuan itu berhak tahu sebuah kalimat berharga yang ingin disampaikan Lei sebelum akhirnya sahabatnya itu mengembuskan napas terakhirnya.

— — SELESAI — —

Tike Yung

5575313032023/5225430082023

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

[1] Digital Audio Workstation adalah software yang digunakan untuk merekam suara, menyunting audio, memanipulasi audio dan midi programming.

[2] Nama mandarinnya Jay Chou, penyanyi Mandopop yang berasal dari Taiwan.

[3] Ujian masuk perguruan tinggi di China

[4] Lirik lagu Mine Mine milik Jay Chou

[5] Ge atau Gege yaitu sebutan kakak laki-laki dalam bahasa Mandarin.

[6] Bibi dalam bahasa Mandarin

[7] Nenek dalam bahasa Mandarin

[8] Judul bahasa Inggrisnya Sunny Day

[9] Ayah dalam bahasa Mandarin.

[10] Halo dalam bahasa Mandarin untuk percakapan atau sapaan awal dalam telepon

[11] Mei atau Meimei yaitu sebutan adik perempuan dalam bahasa Mandarin.

--

--

Tike Yung

Manusia yang menyukai buku, sejarah, seni, dongeng, biru, omelet wortel dan orek tempe.